Senin, 05 Juni 2017

rumah adat pulau blimbing

Desa Pulau Belimbing adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar. Untuk mencapai desa ini dibutuhkan perjalanan darat sejauh lebih kurang 70 Km dari Pekanbaru. Letaknya yang berada di jalan negara, memudahkan pengunjung untuk menyambanginya, semua moda transportasi bisa digunakan untuk mencapai lokasi ini. Saat sampai di lokasi, kita akan disambut oleh sebuah gapura yang bertuliskan Desa Wisata Pulau Belimbing.
Saat kami menyambanginya siang itu kebetulan sedang turun hujan, jadi tak banyak aktifitas warga yang bisa kami “potret”. Namun dari salah seorang warga yang mengaku  bernama Ujang Mukhtar (49), kami memperoleh banyak informasi tentang perkembangan desa tersebut yang katanya telah ditetapkan sebagai desa wisata sejak 10 tahun lalu.
 
Bagi Ujang-sapaan akrabnya- Desa Pulau Belimbing adalah tanah dimana dia menggantungkan harapan hidupnya. Meski hanya dengan berjualan makanan dan minuman kecil yang seadanya, namun ia berharap hal itu cukup untuk membiayai hidupnya bersama keluarga.  
Namun dari penuturan Ujang sepanjang siang itu, nampak gurat kekecewaan yang terpancar dari wajahnya, Ujang mengaku sedih melihat perkembangan desa tersebut. Ia menilai harusnya sebagai desa wisata, Pulau Belimbing harus bisa dikembangkan lebih baik lagi, sehingga akan memancing perhatian orang untuk datang ke desa tersebut.
Tak jauh berbeda dengan penuturan Ujang, kami memang tidak mendapati adanya kunjungan wisatawan lain ke tempat tersebut selain kami, padahal saat itu adalah akhir pekan, namun di seberang Sungai Kampar, dmana desa ini berada, kami bisa melihat aktifitas perkemahan yang dilakukan salah satu perguruan tinggi yang ada di Pekanbaru. “Mereka sudah berkemah disana sejak beberapa hari lalu,” ujar salah seorang warga.
 

Sejenak kami mencoba menelusuri desa tersebut, yang menarik, kami menemukan begitu banyak rumah yang dibangun dengan arsitektur lama alias rumah tradisional khas masyarakat Kampar. Orang setempat menyebutnya Rumah Lontiok atau disebut Rumah Lancang, dan Rumah Pencalang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung keatas, agak runcing. Sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal itu melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan-sesama. Rumah Adat Lontiok biasanya mempunyai anak tangga rumah hitungan ganjil. Bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontiok dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.  
Rumah Lontiok merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
 

Dinding luar Rumah Lontiok seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.  
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontiok) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.
 
Pada masanya, Rumah Lontiok hanya dibangun oleh orang kaya atau datuk (kepala suku), sementara masyarakat biasa menggunakan Rumah Tiang Tinggi sebagai tempat tinggal. Bagi orang kaya, Rumah Lontiok adalah sebuah kebanggaan dan simbol status dalam masyarakat. Karena itu kepemilikan Rumah Lontiok bersifat terbatas, rumah ini dianggap sakral oleh masyrakatnya.  
Arsitektur tradisional daerah Kampar mengandung berbagai nilai budaya yang khas yang tercermin dari awal proses pembangunannya sampai selesai. Dalam bangunan tersebut terkandung makna dan filosofi yang amat dalam kaitannya dengan pembentukan watak dan sikap hidup  masyarakatnya.
Struktur bangunan Rumah Lontiok memiliki makna yang kesemuanya berkaitan dengan sistem kekrabatan dalam masyarakat. Ia melambangkan hubungan antar individu, antara orang tua dan , anak dan anggota masyrakat lainnya. Selain itu struktur rumah adat ini melambangkan kebesaran sang pencipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

islamic center kota bangkinang

Bangkinang adalah ibukota Kabupaten Kampar di Provinsi. Kota ini terkenal dengan julukannya sebagai kota “Kota Beriman” (bersih, indah ...