Senin, 05 Juni 2017

islamic center kota bangkinang


Bangkinang adalah ibukota Kabupaten Kampar di Provinsi. Kota ini terkenal dengan julukannya sebagai kota “Kota Beriman” (bersih, indah dan nyaman). Dengan gelarnya itu wajar bila kota ini memiliki sebuah Pusat perkembangan Islam yang diberi nama Islamic Center Bangkinang atau disingkat menjadi ICB. Kabupaten Kampar juga memiliki sebuah masjid tua bersejarah yang terkenal dengan nama Masjid Jami Air Tiris yang dibangun tahun 1901.
Bangkinang berjarak 60 km dari Pekanbaru (ibu kota provinsi Riau). Sebagai ibu kota kabupaten yang berdekatan dengan ibu kota provinsi dan menjadi daerah penghubung menuju Sumatera Barat. Mayoritas penduduk Bangkinang beragama Islam. Daerah ini awalnya merupakan bagian dari Sumatera Barat, namun setelah penjajahan Jepang, dengan pembagian distrik yang ditentukan oleh Jepang, maka Bangkinang dipindahkan ke dalam Provinsi Riau bersama Kabupaten Kuantan Singingi dan Rokan Hulu
Islamic Center Bangkinang (ICB) berlokasi di jalan Prof. M.Yamin SH, jalan ini merupakan jalan raya yang menghubungkan provinsi Riau dan provinsi Sumatera Barat. Dengan bergoreskan seni arsitektur timur tengah dan memakan luas area sekitar 1,5 hektar, bangunan megah ini menghabiskan dana setidaknya 2 kali lipat APBD Kabupaten Kampar.
Sebuah maha karya yang menjadi icon/ikon kota Bangkinang ini, dibangun atas inisiatif (mantan) Bupati, H. Jefri Nur dan seluruh masyarakat Bangkinang tanpa terkecuali. Dengan menyulap tempat berkumpulnya para remaja kota Bangkinang, menjadi sebuah tempat ibadah yang sarat makna dan hikmah, tempat berkumpulnya para ulama. Islamic Center Bangkinang (ICB) ini juga menjadi semacam taman kota di Bangkinang.

rumah adat pulau blimbing

Desa Pulau Belimbing adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Bangkinang Barat, Kabupaten Kampar. Untuk mencapai desa ini dibutuhkan perjalanan darat sejauh lebih kurang 70 Km dari Pekanbaru. Letaknya yang berada di jalan negara, memudahkan pengunjung untuk menyambanginya, semua moda transportasi bisa digunakan untuk mencapai lokasi ini. Saat sampai di lokasi, kita akan disambut oleh sebuah gapura yang bertuliskan Desa Wisata Pulau Belimbing.
Saat kami menyambanginya siang itu kebetulan sedang turun hujan, jadi tak banyak aktifitas warga yang bisa kami “potret”. Namun dari salah seorang warga yang mengaku  bernama Ujang Mukhtar (49), kami memperoleh banyak informasi tentang perkembangan desa tersebut yang katanya telah ditetapkan sebagai desa wisata sejak 10 tahun lalu.
 
Bagi Ujang-sapaan akrabnya- Desa Pulau Belimbing adalah tanah dimana dia menggantungkan harapan hidupnya. Meski hanya dengan berjualan makanan dan minuman kecil yang seadanya, namun ia berharap hal itu cukup untuk membiayai hidupnya bersama keluarga.  
Namun dari penuturan Ujang sepanjang siang itu, nampak gurat kekecewaan yang terpancar dari wajahnya, Ujang mengaku sedih melihat perkembangan desa tersebut. Ia menilai harusnya sebagai desa wisata, Pulau Belimbing harus bisa dikembangkan lebih baik lagi, sehingga akan memancing perhatian orang untuk datang ke desa tersebut.
Tak jauh berbeda dengan penuturan Ujang, kami memang tidak mendapati adanya kunjungan wisatawan lain ke tempat tersebut selain kami, padahal saat itu adalah akhir pekan, namun di seberang Sungai Kampar, dmana desa ini berada, kami bisa melihat aktifitas perkemahan yang dilakukan salah satu perguruan tinggi yang ada di Pekanbaru. “Mereka sudah berkemah disana sejak beberapa hari lalu,” ujar salah seorang warga.
 

Sejenak kami mencoba menelusuri desa tersebut, yang menarik, kami menemukan begitu banyak rumah yang dibangun dengan arsitektur lama alias rumah tradisional khas masyarakat Kampar. Orang setempat menyebutnya Rumah Lontiok atau disebut Rumah Lancang, dan Rumah Pencalang karena rumah ini bentuk atapnya melengkung keatas, agak runcing. Sedangkan dindingnya miring keluar dengan hiasan kaki dinding mirip perahu atau lancang. Hal itu melambangkan penghormatan kepada Tuhan dan-sesama. Rumah Adat Lontiok biasanya mempunyai anak tangga rumah hitungan ganjil. Bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontiok dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.  
Rumah Lontiok merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
 

Dinding luar Rumah Lontiok seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.  
Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontiok) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.
 
Pada masanya, Rumah Lontiok hanya dibangun oleh orang kaya atau datuk (kepala suku), sementara masyarakat biasa menggunakan Rumah Tiang Tinggi sebagai tempat tinggal. Bagi orang kaya, Rumah Lontiok adalah sebuah kebanggaan dan simbol status dalam masyarakat. Karena itu kepemilikan Rumah Lontiok bersifat terbatas, rumah ini dianggap sakral oleh masyrakatnya.  
Arsitektur tradisional daerah Kampar mengandung berbagai nilai budaya yang khas yang tercermin dari awal proses pembangunannya sampai selesai. Dalam bangunan tersebut terkandung makna dan filosofi yang amat dalam kaitannya dengan pembentukan watak dan sikap hidup  masyarakatnya.
Struktur bangunan Rumah Lontiok memiliki makna yang kesemuanya berkaitan dengan sistem kekrabatan dalam masyarakat. Ia melambangkan hubungan antar individu, antara orang tua dan , anak dan anggota masyrakat lainnya. Selain itu struktur rumah adat ini melambangkan kebesaran sang pencipta.

lubang kalam 13 kota Kampar

Bagi masyarakat Riau dan Sumatera Barat (Sumbar), bahkan Sumatera pada umumnya, Lubang Kalam yang terletak antara Tanjung Balik Muara Mahat dan jembatan Rantau Berangin, bukanlah hal yang asing lagi. Kini lubang yang membentang waktu itu telah menjadi bagian cerita terpenting dalam sejarah perkembangan Sumatera Barat (Sumbar) dan Riau di masa silam.

Laporan Kunni Masrohanti, Kampar

Lubang Kalam. Lubang yang dimaksud di sini bukan lubang biasa yang hanya berukuran satu atau dua meter, tapi lubang panjang yang merupakan jalan umum berupa sebuah terowongan. Sedangkan kalam (bahasa Minang, red), berarti gelap. Lubang Kalam berarti lubang gelap atau sebuah terowongan yang gelap.

Memaknai Lubang Kalam, terkesan seram. Tapi, tidaklah seseram yang dibayangkan. Terowongan ini cukup panjang. Dibangun tahun 40-an. Saat itu, Lubang Kalam juga menjadi satu-satunya jalan penghubung dari Riau ke Sumbar.

Setelah tahun 90-an, Lubang Kalam tidak lagi berfungsi sebagai jalan lalu lintas karena sebagian jalan lintas di kawasan ini terendam oleh air Danau PLTA Kotopanjang. Air ini juga merendam desa-desa di sepanjang tepian kawasan ini.

Terlalu banyak cerita yang tersembunyi di dalam Lubang Kalam ini. Lubang ini dibangun oleh Negara Jepang. Jepang menjajah Indonesia selama 3,5 tahun yakni dalam kurun waktu 1942-1945. Meski tidak selama Belanda yang menjajah Indonesia selama 3,5 abad, tapi penjajahan yang dilakukan Jepang lebih keji dari Belanda.

Seperti Lubang Kalam, Danau PLTA yang berada di kawasan Lubang Kalam ini juga dibangun Jepang. Banyak yang dibangun Jepang di Indonesia baik sebelum atau setelah Indonesia Merdeka. Begitu juga di Riau. Diantaranya Lubang Kalam dan pembangunan PLTA Koto Panjang.

Lubang Kalam hingga kini masih utuh. Sama seperti sebelumnya. Pemerintah setempat, yakni Kabupaten Kampar, menjadikan Lubang Kalam sebagai tempat wisata. Bahkan sebelum masuk ke kawasan Lubang Kalam ini dibuat sebuah pintu gerbang bertuliskan �Wisata Lubang Kalam�.

Dibukanya Lubang Kalam sebagai tempat wisata seolah ingin menguak kembali berbagai kenangan yang pernah terjadi di tempat ini. Ya, termasuk seperti apa Riau dan Sumbar tempo dulu sebelum jalan baru dibuka.

Posisi Lubang Kalam berada sebelum jembatan Rantau Berangin dari arah Sumbar atau setelahnya dari arah Riau. Berbagai desa yang dilalui sebelum Lubang Kalam dari arah Sumbar melalui jalan lama yakni Payakumbuh, Lubuk Bangku, Hulu Aia, Koto Alam, Lubuk Jantan, Manggilang, Pangkalan, Tanjung Balik Muara Mahat dan Lubang Kalam. Baru kemudian jembatan  Rantau Berangin, Salo, Bangkinang, Kampar, jembatan Danau Bingkuang, Rimbo Panjang dan Pekanbaru.

Pada saat Lubang Kalam masih berfungsi sebagai jalan umum, kendaraan umum dari Sumbar juga cukup banyak. Antara lain Gagak Hitam, Mesar Sari, Merah Sungai, Gumarang, Sinar Riau, Cindurmato, Kampar Jaya dan Sinar Riau. Mobil-mobil penumpang inipun sekarang sudah tidak beroperasi lagi.

Melalui Lubang Kalam inilah berbagai sembako didistribusikan dari Sumbar ke Riau. Seperti beras, sayur mayur, cabe, semen dan lainnya. Ini semua merupakan komoditi penting dari Sumbar. Sementara, barang-barang elektronik dan kebutuhan lain dari Luar Negeri seperti karpet, guci, pernak-pernik dari Malaysia atau Singapura, dipasok ke Sumbar melalui Riau melalui Lubang Kalam ini.

Ketika musim liburan tiba, Padang, Bukittinggi dan tempat-tempat wisata di Sumbar dipenuhi kendaraan plat BM dari Pekanbaru. Sementara Mall, Plaza dan Pusat Perbelanjaan di Pekanbaru disesaki wisatawan domestic yang turun dari kendaraan berplat BA yakni Sumbar. Lalu lalang perjalanan mereka semua melalui Lubang Kalam.

Tidak ada yang berubah pada Lubang Kalam ini. Tembok batunya masih sama. Tidak ada cat atau sesuatu yang mewarnainya. Bukti t-bukit yang berada di kanan kirinya juga masih utuh. Hijau dan rimbun. Tetetan-tetesan air dari puncak bukit juga masih terlihat. Bahkan ada juga yang menetes ke dalam Lubang Kalam.

Di dalam Lubang Kalam sangat gelap. Tidak ada lampu atau cahaya lainnya. Di sini juga tinggal ratusan kelelawar. Bau tahi kelalawar cukup menyengat. Suasana ini masih bisa dinikmati pengunjung dengan masuk ke dalam Lubang Kalam dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Hanya bisa untuk satu mobil. Jika ada mobil dari arah berlawanan, maka salah satunya harus mengalah. Mundur!

Di ujung Lubang Kalam, ada ruang cukup luas untuk tempat parkir. Jarak sekitar 200 meter dari ujung Lubang Kalam, terlihatlah sungai yang bermuara ke Danau PLTA. Bahkan mesin PLTA yang besar terlihat jelas dari pinggir sungai ini. Banyaknya kisah dan sejarah yang terukir di dalam lubang inilah yang membuat Pemerintah Kabupaten Kampar menjadikannya sebagai pusat wisata sejarah

masjid jami' air tiris


Masjid ini dibangun pada tahun 1901 M[1] atas prakarsa seorang ulama bernama Engku Mudo Songkal, sebagai panitia pembangunannya adalah yang disebut dengan “Ninik Mamak Nan Dua Belas” yaitu para ninik-mamak dari berbagai suku yang ada dalam seluruh kampung. Tahun 1904 masjid ini selesai dibangun dan diresmikan oleh seluruh masyarakat Air Tiris dengan menyembelih 10 ekor kerbau.
Masjid ini terletak di desa Tanjung Berulak, Pasar Usang, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Berjarak Lebih kurang 13 km dari Bangkinang, Ibukota Kabupaten Kampar dan 52 km dari Pekanbaru, Riau, Indonesia.
Di luar masjid terdapat bak air yang di dalamnya terendam batu besar yang mirip kepala kerbau. Konon, batu tersebut selalu berpindah tempat tanpa ada yang memindahkannya.[2]
Masjid ini selalu dikunjungi wisatawan nusantara dan mancanegara, terutama dari Singapura dan Malaysia. Terutama dikunjungi pada bulan puasa dan setelah hari raya idul fitri yakni hari ke 7 yang di kenal hari raya puasa enam.
Arsitektur masjid ini menunjukkan adanya perpaduan gaya arsitektur Melayu dan Cina, dengan atap berbentuk limas. Keunikan masjid ini adalah, bahwa seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu, tanpa menggunakan besi sedikitpun, termasuk paku. Pada dinding bangunan, terdapat ornamen ukiran yang mirip dengan ukiran yang terdapat di dalam masjid di Pahang, Malaysia.


candi muara takus

Situs Candi Muara Takus adalah sebuah situs candi Buddha yang terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Situs ini berjarak kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru.
Situs Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74 x 74 meter, yang terbuat dari batu putih dengan tinggi tembok ± 80 cm, di luar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer, mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir Sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat beberapa bangunan candi yang disebut dengan Candi sulung /tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka.
Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4, ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan pada abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Sriwijaya, sehingga beberapa sejarahwan menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari kerajaan Sriwijaya.

islamic center kota bangkinang

Bangkinang adalah ibukota Kabupaten Kampar di Provinsi. Kota ini terkenal dengan julukannya sebagai kota “Kota Beriman” (bersih, indah ...